Wednesday, October 19, 2011

Keutamaan Iffah dan Bersabar

(Ditulis oleh: Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di)

Abu Sa’id al-Khudri z menyampaikan sabda Rasulullah n yang mulia:

وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah (kehormatan diri). Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki). Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar. Tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 2421)

Hadits yang agung ini terdiri dari empat kalimat yang singkat, namun memuat banyak faedah lagi manfaat.
Pertama: Ucapan Nabi:

وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ

“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah.”
Kedua: Ucapan Nabi:

وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ

“Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).”
Dua kalimat di atas saling terkait satu sama lain, karena kesempurnaan seorang hamba ada pada keikhlasannya kepada Allah Ta’ala, dalam keadaan takut dan berharap serta bergantung kepada-Nya saja. Adapun kepada makhluk, tidak sama sekali. Oleh karena itu, seorang hamba sepantasnya berupaya mewujudkan kesempurnaan ini dan mengamalkan segala sebab yang mengantarkannya kepadanya, sehingga ia benar-benar menjadi hamba Allah l semata, merdeka dari perbudakan makhluk.

Usaha yang bisa dia tempuh adalah memaksa jiwanya melakukan dua hal berikut.

1. Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan menjaga kehormatan diri sehingga tidak berharap mendapatkan apa yang ada di tangan mereka, hingga ia tidak meminta kepada makhluk, baik secara lisan (lisanul maqal) maupun keadaan (lisanul hal).
Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda kepada Umar z:

مَا أَتَاكَ مِنْ هذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ, وَمَا لاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ

“Harta yang mendatangimu dalam keadaan engkau tidak berambisi terhadapnya dan tidak pula memintanya, ambillah. Adapun yang tidak datang kepadamu, janganlah engkau/menggantungkan jiwamu kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 2402)

Memutus ambisi hati dan meminta dengan lisan untuk menjaga kehormatan diri serta menghindar dari berutang budi kepada makhluk serta memutus ketergantungan hati kepada mereka, merupakan sebab yang kuat untuk mencapai ‘iffah.

2. Penyempurna perkara di atas adalah memaksa jiwa untuk melakukan hal kedua, yaitu merasa cukup dengan Allah l, percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa yang bertawakal kepada Allah l, pasti Allah l akan mencukupinya. Inilah yang menjadi tujuan.

Yang pertama merupakan perantara kepada yang kedua ini, karena orang yang ingin menjaga diri untuk tidak berambisi terhadap yang dimiliki orang lain, tentu ia harus memperkuat ketergantungan dirinya kepada Allah l, berharap dan berambisi terhadap keutamaan Allah l dan kebaikan-Nya, memperbaiki persangkaannya dan percaya kepada Rabbnya. Allah l itu mengikuti persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka baik, ia akan beroleh kebaikan. Sebaliknya, bila ia bersangka selain kebaikan, ia pun akan memperoleh apa yang disangkanya.

Setiap hal di atas meneguhkan yang lain sehingga memperkuatnya. Semakin kuat ketergantungan kepada Allah l, semakin lemah ketergantungan terhadap makhluk. Demikian pula sebaliknya.
Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah, dan kecukupan.” (HR. Muslim no. 6842 dari Ibnu Mas’ud z)

Seluruh kebaikan terkumpul dalam doa ini. Al-huda (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat, ketakwaan adalah amal saleh dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Hal ini membawa kebaikan agama.

Penyempurnanya adalah baik dan tenangnya hati, dengan tidak berharap kepada makhluk dan merasa cukup dengan Allah l. Orang yang merasa cukup dengan Allah l, dialah orang kaya yang sebenarnya, walaupun sedikit hartanya. Orang kaya bukanlah orang yang banyak hartanya. Akan tetapi, orang kaya yang hakiki adalah orang yang kaya hatinya.
Dengan ‘iffah dan kekayaan hati sempurnalah kehidupan yang baik bagi seorang hamba. Dia akan merasakan kenikmatan duniawi dan qana’ah/merasa cukup dengan apa yang Allah l berikan kepadanya.
Ketiga: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ

“Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar.”
Keempat: Bila Allah l memberikan kesabaran kepada seorang hamba, itu merupakan pemberian yang paling utama, paling luas, dan paling agung, karena kesabaran itu akan bisa membantunya menghadapi berbagai masalah. Allah Ta’ala berfirman:

“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (Al-Baqarah: 45)
Maknanya, dalam seluruh masalah kalian.

Sabar itu, sebagaimana seluruh akhlak yang lain, membutuhkan kesungguhan (mujahadah) dan latihan jiwa. Karena itulah, Rasulullah n mengatakan: وَمَنْ يَتَصَبَّرْ “memaksa jiwanya untuk bersabar”, balasannya: يُصَبِّرهُ اللهُ “Allah l akan menjadikannya sabar.”
Usaha dia akan berbuah bantuan Allah l terhadapnya.

Sabar itu disebut pemberian terbesar, karena sifat ini berkaitan dengan seluruh masalah hamba dan kesempurnaannya. Dalam setiap keadaan hamba membutuhkan kesabaran.

Ia membutuhkan kesabaran dalam taat kepada Allah sehingga bisa menegakkan ketaatan tersebut dan menunaikannya.

Ia membutuhkan kesabaran untuk menjauhi maksiat kepada Allah Ta’ala sehingga ia bisa meninggalkannya karena Allah Ta’ala.

Ia membutuhkan sabar dalam menghadapi takdir Allah yang menyakitkan sehingga ia tidak menyalahkan/murka terhadap takdir tersebut. Bahkan, ia pun tetap membutuhkan sabar menghadapi nikmat-nikmat Allah l dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa sehingga tidak membiarkan jiwanya bangga dan bergembira yang tercela. Ia justru menyibukkan diri dengan bersyukur kepada Allah.

Demikianlah, ia membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaan. Dengan sabar, akan diperoleh keuntungan dan kesuksesan. Oleh karena itulah, Allah l menyebutkan ahlul jannah (penghuni surga) dengan firman-Nya:
Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (Ar-Ra’d: 23—24)
Demikian pula firman-Nya:

“Mereka itulah yang dibalasi dengan martabat yang tinggi dalam surga karena kesabaran mereka….” (Al-Furqan: 75)

Dengan kesabaranlah mereka memperoleh surga berikut kenikmatannya dan mencapai tempat-tempat yang tinggi.

Seorang hamba hendaklah meminta keselamatan kepada Allah l, agar dihindarkan dari musibah yang ia tidak mengetahui akibatnya. Akan tetapi, bila musibah itu tetap menghampirinya, tugasnya adalah bersabar. Kesabaran merupakan hal yang diperintahkan dan Allah l-lah yang menolong hamba-Nya.

Allah menjanjikan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya bahwa orang-orang yang bersabar akan beroleh ganjaran yang tinggi lagi mulia.

Allah berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan, menyertai mereka dengan penjagaan, taufik dan pelurusan-Nya, mencintai dan mengokohkan hati serta telapak kaki mereka.

Allah akan memberikan ketenangan dan ketenteraman, memudahkan mereka melakukan banyak ketaatan.

Dia juga akan menjaga mereka dari penyelisihan.

Dia memberikan keutamaan kepada mereka dengan shalawat, rahmat, dan hidayah ketika tertimpa musibah.

Dia mengangkat mereka kepada tempat-tempat yang paling tinggi di dunia dan akhirat.

Dia berjanji menolong mereka, memudahkan menempuh jalan yang mudah, dan menjauhkan mereka dari kesulitan.

Dia menjanjikan mereka memperoleh kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan.

Dia juga akan memberi mereka pahala tanpa hitungan.
Dia akan mengganti apa yang luput dari mereka di dunia dengan ganti yang lebih banyak dan lebih baik daripada hal-hal yang mereka cintai yang telah diambil dari mereka.

Allah l pun akan mengganti hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa mereka dengan ganti yang segera, banyaknya berlipat-lipat daripada musibah yang menimpa mereka.

Sabar itu pada mulanya sulit dan berat, namun pada akhirnya mudah lagi terpuji akibatnya. Ini sebagaimana dikatakan dalam bait syair berikut.

وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ
لَكِنَّ عَوَاقِبَهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ

Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya
Akan tetapi, akibatnya lebih manis daripada madu.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Diterjemahkan Ummu Ishaq al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, hadits ke-33, hlm. 9l—93, Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di t)

Hadits Terpelihara Sebagaimana Al-Qur’an

(Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Penjelasan Mufradat Ayat

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an.”

Al-Imam Al-Qurthubi (10/5), Ibnu Katsir (2/528), dan Ibnu Jarir Ath-Thabari (14/8) mengatakan bahwa makna ﮚ adalah Al-Qur’an.
As-Sa’di t mengatakan, “Maksudnya Al-Qur’an, yang mengandung peringatan terhadap segala sesuatu, berupa berbagai masalah dan dalil-dalil yang cukup jelas, serta mengingatkan orang yang menghendaki peringatan.”

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”

Ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai kata ganti لَهُ. Ada yang berpendapat bahwa kata ganti tersebut kembali kepada ﮚ yaitu Al-Qur’an. Ulama yang lain berpendapat bahwa kata ganti tersebut kembali kepada Nabi Muhammad n, sebagaimana dalam firman Allah l:
“Allah l memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67).
Akan tetapi, yang benar adalah pendapat pertama, yaitu kata ganti tersebut kembali kepada Al-Qur’an. Lihat tafsir Asy-Syinqithi (2/225) dan Ibnu Katsir (2/258).

Al-Qur’an Selalu Terpelihara Lafadz dan Maknanya

Asy-Syinqithi t (2/225) berkata, “Dalam ayat yang mulia ini Allah l menjelaskan bahwa Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan memeliharanya dari penambahan, pengurangan, maupun pengubahan. Ayat lain yang semakna di antaranya firman Allah Ta’ala:

“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan1, baik dari depan maupun dari belakangnya.” (Fushshilat: 42)
Juga firman Allah Ta’ala:

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka itulah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (Al-Qiyamah: 16—19)

Al-Qurthubi t (10/5) mengatakan, Allah l memelihara Al-Qur’an dari penambahan dan pengurangan. Lalu beliau menyebutkan ucapan Qatadah dan Tsabit al-Bunani, “Allah l memelihara Al-Qur’an dari upaya setan yang ingin menambahkan kebatilan ke dalamnya dan mengurangi kebenarannya, sehingga Al-Qur’an tetap terpelihara.”

Al-Imam Al-Baidhawi t (3/362) mengatakan, “Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap sikap orang-orang kafir yang senantiasa mengingkari dan memperolok-olok Al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah l menguatkannya (Al-Qur’an) dengan firman-Nya:

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”

Maksudnya, memeliharanya dari penyimpangan, baik huruf maupun makna, dan penambahan maupun pengurangan. Allah l menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu keajaiban (mukjizat), guna membedakan apa yang tertera padanya dengan ucapan manusia.”

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”

Maknanya, kata asy-Syaikh as-Sa’di t, “Al-Qur’an terpelihara saat diturunkan maupun setelahnya. Saat diturunkan, Allah l memeliharanya dari upaya setan yang ingin mencuri-curi beritanya. Adapun setelah diturunkan, Allah l menyimpannya di hati Rasulullah n, kemudian di hati umatnya. Allah l menjaga lafadz-lafadznya dari perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Allah l juga menjaga makna-maknanya dari perubahan dan penggantian. Tidak seorang pun yang berusaha memalingkan salah satu makna pada Al-Qur’an, melainkan Allah l pasti mendatangkan orang yang akan menjelaskan kebenaran yang nyata. Ini merupakan salah satu tanda keagungan ayat-ayat Allah l dan kenikmatan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin. Di antara bentuk pemeliharaan Allah l terhadap Al-Qur’an juga adalah Dia l memelihara ahlul Qur’an dari musuh-musuh mereka. Allah l menyelamatkan mereka dari gangguan musuh.”

Ath-Thabari t (14/8) berkata, “Allah l memelihara Al-Qur’an dari penambahan kebatilan yang bukan bagian darinya, atau pengurangan hukum, batasan, dan kewajiban yang seharusnya ada padanya.”

Hadits Terpelihara Sebagaimana Al-Qur’an

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Sunnah (hadits) Rasulullah n dan Al-Qur’anul Karim berasal dari sumber yang sama. Hilang (tersia-siakan)nya sebagian hadits—yang merupakan penjelas bagi Al-Qur’an—bertentangan dengan janji Allah l untuk memeliharanya.”

Dengan demikian, sunnah Rasulullah n yang suci termasuk bagian dalam janji Allah Ta’ala yang benar, yaitu benar-benar terpelihara dan terjamin. (Lihat An-Nukat ‘ala Kitab Ibni Shalah 1/9)

Asas agama kita yang hanif adalah Al-Qur’anul Karim dan sunnah (hadits) Nabi Al-Amin. Al-Qur’an adalah kitab yang terpelihara dari sisi Allah l yang Mahatinggi dan Agung. Al-Qur’an dihafal dalam dada dan tertulis dalam tulisan. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)

Adapun sunnah (hadits Rasulullah n), keberadaannya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Baihaqi, berkedudukan sebagai penjelas yang berasal dari Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Oleh karena itu, sunnah secara keseluruhan terpelihara dengan pemeliharaan-Nya, karena ia termasuk peringatan (zikir) dari peringatan (Al-Qur’an). (Tahqiq Al-Ba’its al-Hatsits, 1/7)

Upaya Umat Memelihara Al-Qur’an dan Hadits

Asy-Syaikh Ahmad Syakir t mengatakan, “Kaum muslimin sejak generasi pertama sangat memerhatikan pemeliharaan sanad-sanad syariat mereka dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini tidak dilakukan oleh umat sebelumnya.

Mereka menghafal dan meriwayatkan Al-Qur’an dari Rasulullah n secara mutawatir. Ayat demi ayat, kalimat demi kalimat, huruf demi huruf, terpelihara dalam dada dan dikukuhkan dengan tulisan pada mushaf (Al-Qur’an). Sampai-sampai mereka meriwayatkan berbagai sisi pengucapannya berdasarkan dialek qabilah. Mereka juga meriwayatkan jalan penulisan (bentuk huruf) dalam mushaf. Mereka menulis kitab yang panjang lagi sempurna dalam hal ini.

Mereka juga menghafal dari Nabi mereka, Muhammad n, semua ucapan, perbuatan, dan keadaan beliau. Beliau n adalah penyampai (syariat) dari Rabbnya, penjelas syariat-Nya. Beliau n diperintahkan untuk melaksanakan agama-Nya. Setiap ucapan dan keadaan beliau adalah penjelas bagi Al-Qur’an. Beliau adalah seorang rasul yang ma’shum dan menjadi suri teladan yang baik bagi umatnya. Allah l menerangkan sifat beliau:

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3—4).

Juga firman Allah Ta’ala:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)
Juga firman Allah l:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian.” (Al-Ahzab: 21)

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash menulis segala sesuatu yang dia dengarkan dari Rasulullah n. Orang-orang Quraisy pun melarangnya. Akhirnya, Abdullah bin Amr c mengadukan hal itu kepada Rasulullah n. Beliau n pun bersabda, “Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah terucap dariku kecuali semata-mata kebenaran.”2
Pada haji wada’, Rasulullah n memerintahkan kaum muslimin secara umum untuk menyampaikan dari beliau n, sebagaimana sabda beliau:

لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِن الشَّاهِدَ عَسَى أَنْ يُبَلِّغَ مَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ مِنْهُ

“Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena orang yang hadir bisa jadi dia menyampaikan kepada orang lain, namun orang lain tersebut lebih memahami hadits itu daripada dirinya.”3
Demikian pula sabda beliau:

فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ، رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍِ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ

“Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena bisa jadi orang yang disampaikan (hadits kepadanya) lebih memahami daripada orang yang mendengar (hadits itu secara langsung).”4
Dari penjelasan ini, kaum muslimin memahami bahwa mereka wajib memelihara segala sesuatu yang datang dari Rasul mereka n. Mereka pun melakukannya serta menunaikan amanah sesuai yang diminta. Mereka meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah n, baik secara mutawatir dari sisi lafadz dan makna, atau dari sisi makna saja, atau secara masyhur dengan sanad-sanad yang sahih (yang kukuh), yang diistilahkan oleh ulama ahli hadits dengan hadits sahih atau hasan….” (Lihat Al-Ba’its Al-Hatsits, 1/70—71)

Sanad, Kekhususan Umat Ini

Sanad merupakan kekhususan yang mulia yang dimiliki umat ini. Kekhususan ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. Sanad termasuk bagian agama yang agung kedudukannya.

Dalam kitab Tarikh Baghdad, al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanadnya, pada biografi Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad al-Amin al-Bukhari, sampai kepada Abdan, salah seorang murid Abdullah bin al-Mubarak. Beliau t berkata, “Aku mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata:

الْإِسْنَادُ عِنْدِي مِنَ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

‘Sanad itu menurutku termasuk bagian agama. Kalau bukan karena sanad, semua orang bisa berkata apa pun yang dia kehendaki’.”
Ucapan Al-Imam Ibnul Mubarak ini termasuk kalimat yang terbaik dan terbagus untuk menunjukkan kedudukan sanad dalam agama.
Al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi t mengatakan dalam kitabnya, Ma’rifat Ulumul Hadits, setelah menyebutkan ucapan Abdullah bin al-Mubarak di atas, “Kalau bukan karena sanad, upaya para ulama hadits mencarinya, dan ketekunan mereka menghafalnya, akan hilanglah panji-panji Islam. Para pelaku kesyirikan dan kebid’ahan akan semakin kokoh memalsukan hadits-hadits dan memutarbalikkan sanad, karena apabila hadits-hadits Rasulullah n kosong dari sanad, jadilah ia sebagai hadits yang terputus.”
Ketika menafsirkan ayat:

“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar dan bagi kaummu.” (Az-Zukhruf: 44)

Al-Imam Malik t berkata, “Maknanya adalah ucapan seorang rawi, ‘Ayahku telah menyampaikan kepadaku dari kakekku’.”

Abdullah bin Mubarak juga berkata, “Permisalan seseorang yang mencari urusan agamanya tanpa sanad seperti orang yang memanjat atap tanpa tangga.”

Beliau berkata juga, “Pembeda antara kita dengan kaum itu adalah qawain.”

‘Qawain’ adalah sanad sedangkan ‘kaum itu’ ialah ahlul bid’ah dan yang menyerupai mereka.

Sufyan ats-Tsauri t mengatakan, “Sanad itu senjata orang mukmin. Apabila seorang mukmin tidak memiliki senjata, dengan apa dia melawan musuh?”

Beliau juga berkata, “Sanad itu perhiasan bagi hadits. Barang siapa yang memerhatikannya, ia telah beruntung. (lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, tahqiq Khalil Makmun Syiha 1/28—30)
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Qatadah berkata, “Kebatilan di sini adalah Iblis. Allah l yang menurunkan Al-Qur’an dan kemudian memeliharanya, sehingga Iblis tidak mampu menambahkan kebatilan dan mengurangi kebenaran darinya. (Lihat Tafsir Ad-Durrul Mantsur 5/66)
2 HR. Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (2/162) dengan sanad yang sahih. Abu Dawud, Al-Hakim, dan yang lainnya juga meriwayatkan yang semakna dengan hadits ini.
3 HR. Al-Imam Al-Bukhari dan lainnya.
4 HR. Al-Imam Al-Bukhari dan lainnya.

Sumber : http://www.asysyariah.com

Biografi Syeikh Shalih Al Fauzan




Beliau adalah yang mulia Syaikh Dr. Shalih ibn Fauzan ibn Abdullah dari keluarga Fauzan dari suku Ash Shamasiyyah.Beliau lahir pada tahun 1354 H/1933 M. Ayah beliau meninggal ketika beliau masih muda, jadi beliau dididik oleh keluarganya. Beliau belajar al Quran, dasar-dasar membaca dan menulis dengan imam masjid di kotanya, yaitu yang mulia Syaikh Hamud ibn Sulaiman at Tala’al, yang kemudian menjadi hakim di Kota Dariyyah (bukan dar’iyyah di Riyadh) di sebuah wilayah Qhosim.

Syaikh Fauzan kemudian belajar di sekolah negara bagian ketika baru dibuka di Ash Shamasiyyah pada tahun 1369 H/1948 M. Beliau menyelesaikan studinya di sekolah Faisaliyyah di Buraidah pada tahun 1371 H/1950 M. Kemudian, beliau ditugaskan sebagai guru sekolah taman kanak-kanak. Selanjutnya, beliau masuk di institute pendidikan di Buraidah ketika baru dibuka pada tahun 1373 H/1952 M, dan lulus dari sana tahun 1377 H/1956 M. Beliau kemudian masuk di Fakultas Syari’ah (Universitas Imam Muhammad) di Riyadh dan lulus pada tahun 1381 H/1960 M.

Setelah itu, beliau memperoleh gelar master di bidang fiqih, dan meraih gelar doctor dari fakultas yg sama, juga spesialis dalam bidang fiqih.

Setelah kelulusannya dari Fakultas Syari’ah, beliau ditugaskan sebagai dosen di institut pendidikan di Riyadh, kemudian beralih menjadi pengajar di Fakultas Syari’ah. Selanjutnya, beliau ditugasi mengajar di departemen yang lebih tinggi, yaitu Fakultas Ushuluddin. Kemudian beliau ditugasi untuk mengajar di mahkamah agung kehakiman, di mana beliau ditetapkan sebagai ketua. Beliau lalu kembali mengajar di sana setelah periode kepemimpinannya berakhir. Beliau kemudian menjadi anggota Komite Tetap untuk Penelitian dan Fatwa Islam (Kibaril Ulama), sampai sekarang.

Yang mulia Syaikh adalah anggota ulama kibar, dan anggota komite bidang fiqih di Mekkah (cabang Rabithah), dan anggota komite untuk pengawas tamu haji, sembari juga mengetuai keanggotaan pada Komite Tetap untuk Penelitian dan Fatwa Islam. Beliau juga imam, khatib, dan dosen di Masjid Pangeran Mut’ib ibn Abdul Aziz di al Malzar.

Beliau juga ikut serta dalam surat-menyurat untuk pertanyaan di program radio “Noorun ‘alad-Darb”, sambil beliau juga ikut serta dalam mendukung anggota penerbitan penelitian Islam di dewan untuk penelitian, studi, tesis, dan fatwa Islam yang kemudian disusun dan diterbitkan. Yang mulia syaikh Fauzan juga ikut serta dalam mengawasi peserta tesis dalam meraih gelar master dan gelar doctor.

Beliau mempunyai murid-murid yang sering menimba ilmu pada pertemuan dan pelajaran tetapnya.

Beliau sendiri termasuk bilangan para ulama terkemuka dan ahli hukum, yang mayoritas para tokohnya antara lain:

Yang mulia Syaikh ‘Abdul-’Azeez ibn Baaz (rahima-hullaah);
Yang mulia Syaikh ‘Abdullaah ibn Humayd (rahima-hullaah);
Yang mulia Syaikh Muhammad al-Amin ash-Shanqiti (rahima-hullaah);
Yang mulia Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi (rahima-hullaah);
Yang mulia Syaikh Saalih Ibn ‘Abdur-Rahmaan as-Sukayti;
Yang mulia Syaikh Saalih Ibn Ibraaheem al-Bulaihi;
Yang mulia Syaikh Muhammad Ibn Subayyal;
Yang mulia Syaikh ‘Abdullaah Ibn Saalih al-Khulayfi;
Yang mulia Syaikh Ibraaheem Ibn ‘Ubayd al-’Abd al-Muhsin;
Yang mulia Syaikh Saalih al-’Ali an-Naasir;

Beliau juga pernah belajar pada sejumlah ulama-ulama dari Universitas al Azhar Mesir yang mumpuni dalam bidang hadist, tafsir, dan bahasa Arab.

Beliau mempunyai peran dalam menyeru atau berdakwah kepada Allah dan mengajar, memberikan fatwa, khutbah, dan membantah kebatilan.

Buku-buku beliau yang diterbitkan banyak sekali, namun yang disebutkan berikut hanya sedikit antara lain Syarah al Aqidatul Waasitiyya, al Irshadul Ilas Sahihil I’tiqad, al Mulakhkhas al Fiqih, makanan-makanan dan putusan-putusan berkenaan dengan sembelihan dan buruan, yang mana ini merupakan bagian gelar doktornya. Juga kitab at Tahqiqat al Mardiyyah yang merupakan bagian gelar master beliau. Lebih lanjut judul-judul yang masuk putusan-putusan berhubungan dengan kepercayaan wanita, dan sebuah bantahan terhadap buku Yusuf Qaradhawi berjudul al Halal wal Haram.


sumber :http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/26/syaikh-shalih-ibn-fauzan-ibn-abdullah-ibn-fauzan/

Monday, October 17, 2011

Fatwa Para Ulama Besar Tentang Demonstrasi


Berkata Al-’Allamah Ibnu Khuldun -rahimahullah-: “Dan dari bab ini keadaan para pelaku resolusi/pemberontak yang melakukan perubahan terhadap kemungkaran dari kalangan orang umum dan para fuqaha, karena kebanyakan dari orang-orang yang di atas nihlah (agama panutan) untuk beribadah dan menempuh jalan agama mereka bermazhab akan bolehnya menentang orang-orang yang melampaui batas dari kalangan para umara` (pemimpin), dengan menyeru kepada merubah kemungkaran dan melarang darinya dan memerintah terhadap pemerintah dengan ma’ruf dengan mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hal tersebut. Maka menjadi banyaklah para pengikut mereka dan orang-orang yang berpegang bersama mereka dari kalangan rakyat jelata dan orang-orang banyak dan mereka memampangkan diri-diri mereka dengan hal tersebut kepada tempat-tempat kehancuran dan kebanyakan dari mereka hancur pada jalan itu dalam keadaan berdosa tidak mendapatkan pahala, karena Allah Subhanahu tidak mewajibkan atas mereka Dan sesungguhnya yang (Allah) perintahkan dengannya hanyalah ketika ada kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Berkata (Rasulullah) Shollallahu ‘alaihi wasallam :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran maka hendaknya dia rubah dengan tangannya kemudian siapa yang tidak mampu maka dengan lisannya, siapa yang tidak mampu maka dengan hatinya”. (HR. Muslim dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudry).

{Muqaddimah Ibnu Khuldun jilid 1 hal 199}
_______________________________

Fatwa Asy-Syaikh Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –rahimahullahu Ta’ala- beliau berkata sebagaimana dalam majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah edisi ke 38 halaman 210: “Maka uslub yang baik merupakan dari wasilah yang sangat agung di dalam menerima kebenaran dan uslub yang jelek lagi kasar merupakan dari wasilah yang sangat berbahaya dalam menolak kebenaran dan tidak menerimanya atau menimbulkan kekacauan, kezholiman, permusuhan dan perkelahian. Dan masuk di dalam bab ini apa yang dilakukan oleh sebagian orang dari muzoharot (demonstrasi) yang menyebabkan kejelekan yang sangat besar terhadap para da’i. Maka pawai-pawai di jalan dan berteriak-teriak itu bukanlah jalan untuk memperbaiki dan (bukan pula jalan) dakwah, maka jalan yang benar adalah dengan berkunjung dan menyurat dengan sesuatu yang paling baik kemudian engkau menasihati pemerintah, gubernur dan pimpinan qobilah dengan jalan ini bukan dengan kekerasan dan demonstrasi. Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam menetap 13 tahun di Mekkah beliau tidak menggunakan demonstrasi dan tidak pula pawai-pawaian dan tidak mengancam manusia akan dihancurkan harta mereka dan dilakukan ightiyal terhadap mereka. Dan tidak diragukan bahwa uslub seperti ini berbahaya bagi dakwah dan para da’i dan menghambat tersebarnya dakwah dan menyebabkan para penguasa dan orang-orang besar memusuhinya dan menentangnya dengan segala kemampuan. Mereka menginginkan kebaikan dengan uslub ini (uslub yang jelek yang disebutkan di atas) akan tetapi yang terjadi adalah kebalikannya, maka seorang da’i kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hendaknya menempuh jalan para Rasul dan para pengikutnya walaupun waktu menjadi panjang itu lebih baik daripada suatu amalan yang membahayakan dakwah dan membuatnya sempit atau menyebabkan dakwah itu habis sama sekali dan La Haula Wala Quwwata Illa Billah.

Kemudian Syeikh Bin Baz –rahimahullahu Ta’ala- juga ditanya sebagaimana dalam kaset yang berjudul Muqtathofat min Aqwalil ‘Ulama:

Pertanyaan: “Apakah demonstrasi laki-laki dan perempuan menentang pemerintah dan penguasa dianggap wasilah dari wasilah dakwah, dan apakah orang yang mati dalam demonstrasi itu dianggap mati syahid di jalan Allah?”.

Maka beliau menjawab : “Saya tidak melihat demonstrasi perempuan dan laki-laki merupakan obat (baca : penyelesaian), akan tetapi demonstrasi itu merupakan sebab fitnah, sebab kejelekan dan sebab kezholiman dan pelampauan batas sebagian manusia kepada sebagian manusia (yang lainnya) tanpa kebenaran. Akan tetapi sebab-sebab yang disyari’atkan adalah dengan menyurat, menasehati dan berdakwah berdakwah kepada kebaikan dengan jalan keselamatan demikianlah ditempuh oleh para ulama dan demikian (pula yang ditempuh) oleh para shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikut mereka dengan baik dengan menyurat dan berbicara langsung kepada orang-orang yang bersalah, kepada pemerintah dan kepada penguasa dengan menghubunginya, menasehatinya, mengirim surat untuknya tanpa menyebarluaskannya di atas mimbar dan lain-lainnya bahwa dia telah mengerjakan begini dan sekarang telah menjadi begini, Wallahul Musta’an.
_____________________________

Fatwa Fadhilatusy Syeikh Al-’Allamah Faqihuz Zaman Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin –rahimahullah-.

Pertanyaan: “Apakah muzhoharoh dianggap wasilah dari wasilah dakwah yang disyari’atkan?”.

Beliau menjawab: “Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin Washollallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala Alihi Washahbihi Wasallama Waman Taba’ahum bi Ihsanin ila Yaumiddin, amma ba’du:

Sesungguhnya demonstrasi adalah perkara baru dan tidak pernah dikenal di zaman Nabi Shollallahi ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan tidak pula di zaman Al-Khulafa Ar-Rosyidin dan tidak pula di zaman shahabat –radhiallahu Ta’ala ‘anhum-. Kemudian didalamnya terdapat kekacauan dan keributan yang menyebabkannya menjadi perkara yang terlarang tatkala terdapat didalamnya penghancuran kaca, pintu dan lain-lainnya dan terdapat didalamnya percampurbauran antara laki-laki dan perempuan, pemuda dan orang tua dan yang semisal dengannya dari kerusakan dan kemungkaran. Adapun masalah menekan terhadap pemerintah, maka kalau pemerintah ini adalah pemerintah muslimah maka cukuplah yang menjadi nasehat untuknya Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Shollallahi ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan ini adalah sebaik-baik apa yang diperuntukkan untuk seorang muslim. Adapun kalau pemerintahannya pemerintahan kafir, maka dia tidaklah memperhatikan mereka orang-orang yang berdemonstrasi itu dan dia akan berbuat baik secara zhohir dan dia menyembunyikan kejelekan di dalam batinnya, karena itulah kami melihat bahwa demonstrasi itu adalah perkara mungkar. Adapun perkataan mereka bahwa demonstrasi ini adalah keselamatan, maka kadang ia merupakan keselamatan di awal perkara atau di awal kali kemudian menjadi pengrusakan dan saya menasihatkan para pemuda untuk mengikuti jalan orang-orang yang telah lalu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji atas kaum Muhajirin dan Anshor dan memuji orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.

{Lihat : Al-Jawaban Azhhar karya Fu’ad Siroj halaman 79}.
___________________________________

Fatwa Syeikh Al-’Allamah Sholeh bin Ghoshul -rahimahullah-. Syeikh Sholeh bin Ghoshul merupakan salah seorang anggota Hai`ah Kibarul ‘Ulama Saudi Arabia. Beliau ditanya dengan pertanyaan sebagai berikut:

“Pada dua tahun yang lalu kami mendengar sebagian para da’i mendengung-dengungkan seputar permasalahan wasilah dakwah dan mengingkari kemungkaran dan mereka memasukkan ke dalam wasilah dakwah tersebut demonstrasi, ightiyal dan pawai dan sebagian di antara mereka kadang-kadang memasukkannya ke dalam bab jihad Islami.

1. Kami mengharap penjelasan apabila perkara-perkara ini termasuk wasilah yang disyari’atkan atau masuk di dalam lingkaran bid’ah yang tercela dan wasilah yang terlarang.
2. Kami memohon penjelasan tentang mu’amalah syar’i bagi orang-orang yang berdakwah kepada amalan-amalan ini dan berkata dengannya serta menyeru kepadanya”.

Maka beliau menjawab: “Alhamdulillah sudah dimaklumi bahwa bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar, dakwah dan memberikan wejangan merupakan pokok dari agama Allah ‘azza wa Jalla, akan tetapi Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam muhkam kitabNya Al-’Aziz:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An-Nahl : 125).

Dan tatkala (Allah) ‘Azza wa Jalla mengutus Musa dan Harun kepada Fir’aun, Allah berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thoha : 44).

Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam datang dengan hikmah dan beliau memerintahkan untuk menempuh dakwah yang hikmah dan berhias dengan kesabaran, ini dalam Qur`an Al-’Aziz dalam surah Al-’Ashr:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Dengan seluruh nama-nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-‘Ashr : 1-3).

Maka seorang da’i kepada Allah ‘Azza wa Jalla, orang yang memerintah kepada yang ma’ruf dan orang yang mencegah dari kemungkaran hendaknya berhias dengan kesabaran dan wajib atasnya untuk mengharapkan pahala dan balasan dan wajib pula atasnya untuk bersabar terhadap apa yang dia dengar atau apa yang dia dapatkan (dari kesulitan) dalam jalan dakwahnya. Adapun seorang manusia menempuh jalan kekerasan dan menempuh jalan –wal’iyadzubillah- mengganggu manusia, jalan, kekacauan atau jalan perbedaan, perselisihan dan memecah kalimat maka ini adalah perkara-perkara syaitoniyah dan ia merupakan pokok dakwah Al-Khawarij. Ini pokok dakwah Al-Khawarij, mereka itulah yang mengingkari kemungkaran dengan pedang atau dengan benda tajam dan mengingkari perkara-perkara yang mereka tidak berpendapat dengannya atau menyelisihi keyakinan mereka, mengingkarinya dengan pedangnya, menumpahkan darah, mengkafirkan manusia dan seterusnya dari berbagai macam perkara. Maka beda antara dakwah para shahabat Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dan Salaf Ash-Sholeh dan antara dakwah orang-orang Khawarij dan orang yang menempuh manhaj mereka serta berjalan di atas jalan mereka. Dakwah para shahabat dengan hikmah dan dengan maw’idzoh, menjelaskan kebenaran, bersabar, berhias dengan baik dan mengharapkan pahala dan balasan. Dan dakwah Khawarij memerangi manusia, menumpahkan darah mereka, mengkafirkan mereka, memecah belah kalimat dan merobek barisan kaum muslimin dan ini adalah pekerjaan yang keji dan perbuatan yang baru (bid’ah). Maka yang paling pantas bagi orang-orang yang menyeru kepada perkara ini hendaknya mereka menjauhi dan mereka dijauhi dan berjeleksangka kepada mereka mereka itu memecah belah kalimat kaum muslimin. Al-Jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah siksaan dan adzab, wal’iyadzubillah. Dan andaikata penduduk suatu negara bersatu di atas kebaikan dan bersatu di atas satu kalimat, maka niscaya mereka akan mempunyai kedudukan dan mereka akan mempunyai wibawa. Akan tetapi penduduk negara sekarang berpartai-partai dan berkelompok-kelompok, mereka berpecah, berselisih dan masuk kepada mereka musuh-musuh dari diri mereka sendiri sebagian dari mereka atas sebagian yang lainnya dan ini adalah jalan yang bid’ah, jalan yang keji dan jalan yang seperti yang telah lalu bahwa ini adalah jalan orang-orang yang memecah belah tongkat dan memerangi amir/pimpinan ‘Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dan orang-orang yang bersama beliau dari para shahabat dan Ahli Bai’atir Ridwan (orang-orang yang melakukan bai’at Ridwan). Mereka memeranginya menginginkan dengannya kebaikan dan mereka adalah gembong kerusakan dan bid’ah dan gembong perpecahan. Mereka itulah yang memecahkan kalimat kaum muslimin dan melemahkan sisi kaum muslimin dan demikian pula sampai yang berkeyakinan dengannya dan membangun bangunannya di atasnya dan menganggap hal tersebut baik, maka orang yang seperti ini jelek keyakinannya dan wajib untuk dijauhi. Dan ketahuilah –wal’iyadzubillah- bahwa seseorang itu berbahaya bagi ummat dan bagi teman-teman duduknya ………” .

{Dari majalah Safinah An-Najah edisi ke-2 bulan Juli 1997}
__________________________

Fatwa Syeikh Al-‘Allamah Ahmad An-Najmy –hafizhohullahu Ta’ala-

Beliau berkata di dalam kitab beliau Maurid Al-‘Adzbi Az-Zilal halaman 228 dalam menjelaskan kritikan terhadap Ikhwanul Muslimin, beliau berkata:

“Kritikan yang ke-23: Tandzhim, pawai dan demonstrasi dan Islam tidak mengenal perbuatan ini dan tidak menetapkannya bahkan itu adalah perbuatan yang muhdats/baru (bid’ah) dari amalan orang-orang kafir dan telah diimpor dari mereka kepada kita. Apakah setiap kali orang kafir beramal dengan suatu amalan kita menyeimbanginya dan mengikuti mereka ???, sesungguhnya Islam tidaklah mendapatkan pertolongan dengan pawai dan demonstrasi akan tetapi Islam akan mendapatkan pertolongan dengan jihad yang dibangun di atas ‘aqidah yang shohihah dan jalan yang disunnahkan oleh Muhammad bin ‘Abdillah Shollallahu ‘alaihi wasallam. Dan para Rasul dan pengikutnya telah diuji dengan berbagai macam cobaan dan tidaklah mereka diperintah kecuali dengan kesabaran. Ini Nabi Musa ‘alaihissalam beliau berkata kepada Bani Israil bersamaan dengan apa yang mereka dapatkan dari Fir’aun dan kaumnya berupa pembunuhan laki-lakidari anak-anak yang baru dilahirkan dan menghidupkan yang perempuan, Nabi Musa berkata kepada mereka sebagaimana yang dikhabarkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla wa Jalla Musa berkata kepada kaumnya:

اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-A’raf : 128).

Dan ini Rasulullah Shollalahu ‘alaihi wasallam beliau berkata kepada sebagian para shahabatnya tatkala mereka mengadukan kepada beliau apa yang mereka dapatkan dari gangguan kaum musyrikin (beliau berkata):

قد كان من قبلكم يؤخذ الرجل فيحفر له في الأرض فيجعل فيها فيجاء بالمنشار فيوضع على رأسه فيجعل نصفين ويمشط بأمشاط الحديد ما دون لحمه وعظمه فما يصده ذلك عن دينه والله ليتمن هذا الأمر حتى يسير الراكب من صنعاء إلى حضرموت لا يخاف إلا الله والذئب على غنمه ولكنكم تستعجلون.

“Sesungguhnya ada di antara orang-orang sebelum kalian didatangkan sesorang dari mereka kemudian diletakkan gergaji di atas dahinya sampai dibelahlah antara kedua kakinya dan tidaklah hal tersebut menahan mereka dari agama mereka. Dan demi Allah sungguh Allah akan menyempurnakan perkara ini sampai seseorang berjalan sari Shon’a menuju Hadramaut dan dia tidak takut kecuali Allah dan srigala berada di atas kambing-kambingnya akan tetapi kalian sangat tergesa-gesa”. (HR. Al-Bukhari dari shahabat Khobbab Ibnul Aroth)

Maka beliau tidak memerintahkan shahabatnya melakukan demonstrasi dan tidak pula ightiyal”.
_______________________________

Fatwa Syeikh Sholeh Al-Atram -’afahullah- dan beliau adalah salah seorang anggota Hai’ah Kibarul ‘Ulama Saudi Arabia, beliau ditanya tentang hukum demonstrasi dan apakah itu merupakan wasilah dakwah. Beliau menjawab:

“Tidak, ini merupakan wasilah syaiton”, kemudian beliau berkata bahwa: “Orang-orang Khawarij yang kudeta terhadap ‘Utsman pada mereka itulah ada muzhaharoh/demonstrasi”.
_______________________________

Syaikh Sholeh Al-Fauzan, salah seorang ulama besar di Timur Tengah dan merupakan anggota Al-Lajnah Ad-Daimah dan Hai’ah Kibarul ‘Ulama, pada malam senin tanggal 2 Safar 1423 H bertepatan tanggal 17 April 2002 dalam acara pertemuan terbuka yang disebarkan melalui Paltalk beliau dengan nash sebagai berikut.

Pertanyaan: Apa hukum demonstrasi-demonstrasi, apakah dia termasuk bagian dari jihad fii sabilillah?

Beliau menjawab: “Demonstrasi tidak ada faidah didalamnya, itu adalah kekacauan, itu adalah kekacauan dan apa mudharatnya bagi musuh kalau manusia melakukan demonstrasi di jalan-jalan dan (berteriak-teriak) mengangkat suara? bahkan perbuatan ini menyebabkan musuh senang seraya berkata sesungguhnya mereka telah merasa mendapatkan kejelakan dan meresa mendapatkan mudharat dan musuh gembira dengan ini. Islam adalah agama sakinah (ketenangan), agama hudu` (ketentraman), dan agama ilmu bukan agama kekacauan dan hiruk pikuk, sesungguhnya dia adalah agama yang menghendaki sakinah dan hudu` dengan beramal dengan amalan-amalan yang mulia lagi majdy (tinggi,bermanfaat) dengan bentuk menolong kaum muslimin dan mendo’akan mereka, membantu mereka dengan harta dan senjata, inilah yang majdy dan membela mereka di negara-negara supaya diangkat dari mereka kezholiman dan meminta kepada negara-negara yang menggembar-gemborkan demokrasi untuk memberikan kepada kaum muslimin hak meraka, dan hak-hak asasi manusia yang mereka membanggakan diri dengannya, tetapi mereka itu menganggap bahwa manusia itu hanyalah orang kafir adapun muslim disisi mereka bukan manusia bahkan teroris. Mereka menamakan kaum muslimin sebagai gerombolan teroris. Dan manusia yang punya hak-hak asasi hanyalah orang kafir menurut mereka!.

Maka wajib bagi kaum muslimin untuk bermanhaj dengan manhaj islam pada kejadian-kejadian yang sepeti ini dan yang selainnya. Islam tidak datang dengan demonstrasi, hirup pikuk dan berteriak-teriak atau menghancurkan harta benda atau melampaui batas. ini semuanya bukan dari islam dan tidak memberikan faidah bahkan memberikan mudharat bagi kaum muslimin dan tidak memberikan mudharat bagi musuh-musuhnya. Ini memudharatkan kaum muslimin dan tidak memudharatkan musuh-musuhnya bahkan musuhnya gembira dengan hal ini dan berkata : saya telah membekaskan pengaruh (jelek) pada mereka, saya telah membuat mereka marah dan saya telah membuat mereka merasa mendapat pengaruh jelek”.

[Dikutip dari majalan An-Nasihah dengan beberapa perubahan]

Sunday, October 2, 2011

Q&A Tentang Hukum Hudud oleh Ustaz Fathul Bari Q&A Tentang Hukum Hudud oleh Ustaz Fathul Bari Soalan : 1. Ada pihak yang mahu laksanakan hudud, manak

Q&A Tentang Hukum Hudud oleh Ustaz Fathul Bari
Soalan :

1. Ada pihak yang mahu laksanakan hudud, manakala ada pihak lain sebaliknya?
2. Benarkah rejam tidak termasuk dalam hukuman hudud?

Pertama sekali apabila kita membicarakan tentang hudud, ada beberapa perkara yang perlu dibincangkan.

Apakah itu hukum hudud atau hukum-hukum Allah?

Yang tergambar dan digembar-gemburkan dalam fikiran kebanyakan kita ialah potong tangan. Hudud itu rejam orang sampai mati (bagi pelaku zina yang sudah berkahwin), hukum bunuh pancung, hukum sebat dan rotan, salibkan bagi peritiwa hirabah yakni samun dan rompak. Setakat itu yang digambarkan tentang hudud. Kita tidak bercerita dan memberikan kefahaman yang benar kepada masyarakat tentang hudud. Lebih-lebih lagi kepada non-Muslim.

Para ulama memberikan definisi hudud : “Hukuman yang telah ditentukan (jumlah bilangan dan kaedah perlaksanaan) di sisi syara’ dilaksanakan terhadap sesuatu maksiat yang dilakukan, yang melibatkan hak Allah.”

Di sana ada hak Allah dan ada hak manusia. Hak manusia ini yang membezakan antara hukuman hudud dan hukuman qishas. Qishas ialah hukuman balas, sebagai contoh kesalahan mencederakan seseorang menjadi buta akan dikenakan hukuman balas yang sama dengan membutakan mata pelaku kesalahan.

Manakalan hukum hudud adalah hak Allah. Sekali imbas seperti tiada apa-apa kaitan antara mencuri dan hak Allah. Bahkan kalau diikutkan jika boleh barang curian itu dikembalikan, mungkin itu dirasakan lebih baik. Namun begitu, di sisi Islam hukuman had tetap perlu dilaksanakan. Hukuman had tidak boleh dimaafkan. Hal ini berlaku hanya apabila ia dilaporkan kepada pemerintah.

Ini bertepatan dengan apa yang Nabi katakan, “Allah melaknat oleh yang memberi ampun dan meminta ampun (bagi kesalahan hudud)”. (Imam Malik dalam Muwathha, kitab Hudud)

Secara umumnya hukuman hudud ini bertujuan untuk menjaga 5 perkara asas (dharuriyayul khams) yang termasuk di dalamnya menjaga agama, nyawa, harta, keturunan dan akal.

Contohnya (penjelasan diringkaskan oleh editor) ; (1) hukuman mencuri bertujuan untuk menjaga harta. (2) hukuman zina pula dikenakan untuk menjaga nasab dan keturunan. (3) al-hirabah (rompakan) bertujuan untuk menjaga harta.

Mungkin ada dikalangan kita merasakan ada hukuman Islam zahirnya kelihatan kejam. Sebagai orang Islam, perasaan ini tidak boleh muncul dalam hati kita walaupun sedikit. Haram hukumnya ada di dalam hati umat Islam, merasakan hukum Islam itu kejam.

Pernahkah kita melihat peragut yang berjaya ditangkap oleh orang awam? Apakah tindakan yang dilakukan tidak sanggup dilihat. Banyak rakaman di youtube menunjukkan penjenayah ini dilayan jauh lebih teruk dari apa yang Islam tentukan.

Islam mengatur hukuman dengan cara yang terhormat. Islam mengatur hukuman untuk memberi rasa insaf kepada pesalah dan masyarakat awam yang menyaksikan hukuman.

Antara kaedah perlaksanaan hukuman hudud ialah dibacakan ayat al-Qur’an tentang hukuman, dibacakan kesalahannya di hadapan orang awam, dan setelah itu didoakan semoga Allah ampunkan kesalahan penjenayah tersebut, dan sekiranya hukuman mati dikenakan jenazahnya tetap diurus dengan cara yang terhormat. Bahkan Islam pelaku kesalahan itu tidak dibenar dicaci, dimaki.

Adakah Rejam Termasuk dalam Hukuman Rejam

Imam Bukhari Rahimahullah dalam Shahihnya:

Telah meriwayatkan kepada kami `Ali bin `Abdillah,telah meriwayatkan kepada kami Sufyan,daripada Az-Zuhri,daripada `Ubaidillah,daripada Ibnu `Abbas radiallahu`ahuma,katanya: `Umar radiallahu`anhu berkata: " Aku takut akan dipanjangkan zaman untuk manusia,hingga akan ada yang berkata: " Kami Tidak mendapati (hukum) rejam dalam Kitab Allah,lantas mereka akan sesat disebabkan meninggalkan kewajiban yang telah Allah turunkannya,maka ketahuilah sesungguhnya rejam adalah hak ke atas sesiapa yang berzina dan dan dia seorang muhson(sudah berkahwin,janda,duda dll) jika telah tertegaknya bukti,atau mengandung atau pengakuan- Kata Sufyan( At-Thauri): beginilah aku telah hafal- maka ketahuilah : Rasulullah sallallahu`alaihiwasallam telah merejam( menegakkan hukum rejam) dan kami pun merejam selepasnya(kewafatannya)

(HR Bukhari no:6829, Kitab Hudud, bab Pengakuan berzina, Muslim no:1691, Kitab Hudud,Bab Rejam Janda yang berzina, dan ini lafaz Imam Bukhari)


Hal ini telah dinukil secara ijma’ oleh ahli ilmu. Kecuali beberapa ilmuwan semasa yang mereka melihat agak kurang sesuai hukum rejam itu dilaksanakan ketika ini. Lantas mereka mengalihkan hukuman rejam itu dari hudud kepada ta’zir. Atas alasan masyarakat hari ini tidka punya kekuatan iman untuk melaksanakan hukuman ini dan meliaht kepada suasana.

Saya berpendirian, bahawa hal ini tidak tepat. Ini kerana hukuman had adalah ketetapan dari Allah seperti dijelaskan, “Ini adalah ketentuan hukum Allah, dan jangan kamu melanggarnya.” (Surah At-Talaq, ayat 1). Ini adalah ketetapan kadar yang dating dari syara. Oleh sebab itu, para ulama’ ahlus sunnah terdahulu telah ijma’ tentang hal ini. Tidak ada khilaf dari kalangan mereka kecuali sebilangan yang tidak dikira kedudukan mereka.

Perlaksanaan Hukum Hudud
Berikut merupakan contoh perlaksanaan hukuman hudud di Arab Saudi.

Seorang lelaki dikenakan hukum qishah kerana membunuh seorang lelaki lain. Pada ketika mangsa dibunuh, dia meninggalkan seorang isteri yang sedang hamil. Perlaksanaan hukuman bunuh balas ditunda sehingga wanita itu melahirkan anak dan anaknya dewasa. Ini kerana pihak mahkamah mahu mendapatkan keputusan dari anak itu sama ada mahu memaafkan kesalahan bunuh itu (dengan bayaran ganti rugi : diyat) atau sebaliknya. Hal ini berlaku kerana di dalam Islam ‘kemafaan’ itu lebih didahulu dan diutamakan berbanding hukuman. Cukup mendapat kemaafan dari salah seorang ahli waris untuk menolak hukuman qishah yang dikenakan. Ini antara conoth keindahan hukuman Allah yang tidak ditampilkan kepada masyarakat.

Yang selalu digembar-gemburkan ialah hukuman potong tangan, rejam dan hukuman pancung sahaja.

Polemik Hudud

Kalau sebelum ini kita boleh mengadakan kempen tentang NKRA, KPI, Islam Hadhari, Satu Malaysia atau negara berkebajikan, maka sepatutnya juga membuat kempen untuk memberi penerangan tentang hudud.

Apa yang berlaku ialah di satu pihak sibuk hendak laksanakan. Manakala di satu pihak yang lain pula, merasakan ia masih belum sesuai. Jika tidak sesuai sepatunya kita kemukakan apakah perkara-perkara yang perlu dilakukan. Kita tidak boleh berhenti sekadar menyatakan’tidak sesuai’. Seharusnya kita berikan satu alternatif, seperti menubuhkan suruhanjaya atau badan tertentu yang berkecuali. Ini adalah kerana ia urusan Islam dan bukan urusan parti semata-mata. Undang-undang ini tidak akan dilaksanakan oleh parti sebaliknya melalui umat Islam itu sendiri.

Kita boleh undang pakar-pakar undang-undang Islam untuk duduk bersama berbincang, begitu juga wakil-wakil dari Negara yang sudah berpengalaman melaksanakan hudud dan juga pakar perlembagaan untuk melihat ruang-ruang dalam perlembagaan yang boleh dibaiki untuk melaksanakan hukum hudud ini.

Jika hal ini tidak berlaku, pihak yang menyatakan perlaksanaan hudud ini masih belum sesuai akan dianggap dan dituduh sebagai anti-hudud.

Di suatu pihak lain pula yang bersungguh-sungguh mahu melaksanakan hudud, apakah usaha penjelasan yang telah kalian lakukan kepada masyarakat? Dan apakah keutamaan yang paling mendesak dalam masyarakat? Dalam keadaan kelab malam masih banyak, pusat urut masih banyak beroperasi dan arak masih dijual secara terbuka dan mudah diperoleh.

Sedangkan khalifah Umar al-Khattab pernah menagguhkan hukuman potong tangan kepada pencuri pada musim kemarau. Ini menunjukkan bahawa perlaksanaan hukum diraikan mengikut suasana. Kalau suasana tidak menutup kepada pintu-pintu yang membawa kepada maksiat, maka tidak boleh dilaksanakan hukum ini. Perlu diberikan kefahaman agama dan menutup ruang-ruang menjurus kepada maksiat. Justeru itu kita melihat hukum ini banyak dilaksanakan setelah hijrah Nabi ke Madinah, setelah umat faham tentang Islam. Untuk itu, buat tempoh ketika ini penjelasan adalah perkara yang penting. Tanpa penjelasan masyarakat akan terus berkeras dengan pendirian masing-masing dan boleh mengakibatkan perpecahan.

Apabila kita berbicara tentang agama kita tidak boleh prejudis dan tidak boleh ada kecenderungan kepada arti tertentu atau kelompok tertentu. Apabila kita mengulas tentang agama kita, maka kita bercakap kerana agama kita. Tidak ada alas an lagi untuk kita berpolitik dalam isu-isu sebegini. Ini adalah hukum Allah swt.

Sesi soal jawab Kuliah Ringkasan Sahih Bukhari 29 September 2011 di Yayasan Ta’lim.





Disalin secara bebas dari rakaman : http://www.youtube.com/watch?v=jfVP-25Xcfs

Disalin dari laman blog : PENA MINANG

Diedit oleh : Abu Abdillah Riduan Khairi, Biro Penerbitan dan Multimedia iLMU

http://www.facebook.com/notes/ulama-muda-umno-ilmu/qa-tentang-hukum-hudud-oleh-ustaz-fathul-bari/286107074750703